Suara Enja terdengar dari belakangku. Aku segera menoleh ke
arahnya. Dia baru masuk kantornya dan terlihat wajahnya terdapat luka. Dengan
cemas aku bertanya, "Matamu terluka! Apa gara-gara habis dipukulin
orang?"
Enja melewatiku dan duduk di kursinya. Aku segera
mengucapkan penyesalanku, "Maaf, aku menuduhmu membunuh dan juga tidak
percaya kamu sakit."
Kemudian Enja menjelaskan kenapa mata kanannya pada bagian
putih berubah jadi warna merah semua, "Aku disiram air keras oleh
seseorang yang tidak dikenal dengan mengendarai motor bersama temannya. Aku
membalasnya dengan melempar batu ke arah rantai motor hingga mereka terjatuh.
Saat bensin motornya bocor, aku mengembalikan rokoknya yang menyala dan
tergeletak di tanah dengan melemparkan ke arah mereka."
Penjelasan Enja membuatku terkejut. Karena aku juga
mendengar kematian Miki yang sering membully Enja, disebabkan terbakar bersama
motornya. Aku menjadi bingung, siapa yang harus disalahkan.
Tapi aku justru mengkhawatirkan keadaannya, "Apa kamu
masih bisa melihat dengan mata merah begitu?"
Jawaban Enja membuatku tercengang, "Walaupun mata ini
terluka, tapi efek dari luka ini membuatku bisa melihat dalam kegelapan."
Seketika lampu kantor Enja mati. Ruangannya yang tertutup
membuatku tidak bisa melihat apa-apa.
Aku cemas, apalagi saat Enja mulai mendekatiku dan
menyentuh bahuku, "Kenapa kamu, Huja. Terlihat ketakutan?"
Enja benar-benar memperlihatkan kemampuannya, itu membuatku
panik, "Ku mohon Enja. Jangan apa-apain aku."
Semakin membuatku cemas ketika Enja menurunkan tangannya menuju
dadaku.
Aku terperangah, saat Enja menyalakan layar Ponselku yang
dia ambil dari kantong baju seragamku. Lalu dia berkata, "Aku juga punya
Ponsel yang ku sembunyikan di ruang perpustakaan di rumahku. Jika aku
menghilang, maka ambillah Ponsel itu."
Aku bingung dengan maksud ucapannya. Kemudian dia bicara
lagi, "Gunakan cahaya Ponselmu ini untuk menuju pintu ke luar ruangan ini.
Pulanglah, nanti orang tuamu khawatir."
Aku segera pamit, "Terima kasih Enja." Ucapku
sambil mengambil Ponselku kembali. Walaupun dia punya kesempatan. Aku senang
dia tetap menghargaiku sebagai wanita.
Aku masih penasaran dengan kemisteriusan Enja. Terutama
kata-katanya tadi. Aku tetap berada di sekitar gedung Perusahaan Enja dan
sembunyi di balik pohon. Saat Enja keluar dan pergi. Aku mengikutinya secara
diam-diam. Dia terlihat sedang menuju ke arah restoran. Pasti akan menemui
gadis baru lagi. Itu membuatku juga penasaran sekaligus kesal.
Tapi kali ini Enja bertemu dengan seorang gadis yang
terlihat sangat muda, mungkin masih SMP. Mereka ketemuan di tengah jalan di
samping bangunan tua. Aku mendekati bangunan tua tanpa ketahuan oleh mereka. Di
balik dinding bangunan tua, aku ingin mendengar pembicaraan mereka dan juga
mengintipnya.
Seperti aku duga, Enja tahu nama gadis itu, "Kamu
pasti Mawa, adiknya Miki!"
Mawa menjawabnya dengan amarah, "Kamu belum jawab,
kamu kan yang bunuh kakakku?"
Enja benar-benar pintar menyembunyikan sesuatu, "Apa
ada tanda-tanda, aku membunuh kakakmu?"
Mawa tambah kesal, "Aku akan membalas kematian
kakakku. Kamu akan aku habisi dengan pisau ini lalu aku akan menyembunyikan
Pisau ini. Sama sepertimu saat membunuh kakakku tanpa jejak barang bukti, aku juga akan tetap bebas setelah membunuhmu."
Terlihat Mawa mengeluarkan pisau. Itu membuatku cemas.
Enja masih bicara tenang sambil mengeluarkan ponselnya,
"Aku merekam pembicaran kita di sini sejak awal!"
Mawa berteriak, "Percuma. Setelah aku menghabisimu.
Aku akan hancurkan ponsel itu."
Enja tersenyum, "Ini rekaman panggilan suara, aku
menelpon Ponselku satunya. Kamu tahu, jika telpon tidak diangkat, maka kita
bisa meninggalkan pesan suara. Orang terdekatku akan mengambil ponsel itu, jika
terjadi apa-apa denganku dan menjadikannnya barang bukti. Dan masa mudamu, akan
dihabiskan di penjara."
Mawa terlihat pasrah dan lalu melepaskan pisaunya. Kemudian
dia tertunduk menangis.
Akhirnya aku tahu, maksud Enja memberitahu Ponsel
rahasianya ke aku. Dia benar-benar cerdas telah siap sedia atas segala
kemungkinan yang ada dengan merencanakan semua ini.
Alangkah terkejutnya aku. Sedikit saja aku lengah. Enja
kembali menghilang. Segeraku menghampiri Mawa, "Mau tanya dik, cowok yang
tadi aku lihat di dekatmu! Dia ada di mana?"
Jawaban Mawa membuatku tercengang, "Di kuburan!"
0 Response to "Mengatasi Ancaman Pembunuhan (Eps 18)"
Post a Comment